Menggapi Berkah Dari Perayaan Tradisi Adat Sebaran Apem Keong Mas Pengging

 

Gunungan Apem Keong Mas Pengging/ Foto: Metrosurakarta


BUDAYA- Pengging, kawasan wisata religi di Kabupaten Boyolali ini tak pernah sepi dari para pengunjung. Tak hanya sumber mata air dan petilasan, tetapi juga ada makam makam keramat yang menjadi jujugan para pelaku ritual. 

Di desa ini juga ada tradisi sebaran apem keong mas yang di gelar pada hari Jumat bertepatan pada bulan sapar dalam penanggalan jawa.

Sebaran apem keong mas merupakan ungkapan wujud rasa syukur masyarakat atas berkah yang di berikan Tuhan melalui alam semesta, sehingga masyarakat di berikan kelebihan dan ketentraman.   

Perayaan tradisi tersebut di selenggarakan untuk mengenang jasa Paku Buwono (PB) X saat membangun masjid Ciptomulyo. 

Di kisahkan pada saat PB X akan membangun masjid di pengging, beliau meminta apem dari perayaan sebaran apem Ki Ageng Gribig Jatinom, Klaten. Apem yang di bawa dari Jatinom lantas di gunakan sebagai dasar pondasi pembangunan masjid Ciptomulyo. 

Dari keterangan abdi dalem keraton kasunanan yang bertugas membuat gunungan apem di katakan, sebelum gununga apem di buat, secara simbolis lebih dulu apem dan peralatanya di sanggarkan di umbul ngabeyan atau tempat pemandian raja PB X 

Selain di umbul ngabeyan, beberapa di antaranya juga di sanggarkan di makam pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro, Tus Pajang. . 

Apem yang di buat untuk gunungan di pengging tidak lazim seperti apem yang ada di acara Jatinom. Apem tersebut tidak masak dengan cara di goreng, tetapi di buntel janur berbentuk lancip menyerupai keong kemudian di kukus. Oleh karena itu gunungan apem pengging di sebut warga masyarakat kukusan apem keong mas. 

Pada setiap gunungan apem terdapat juga kupat luar sebagai simbol jasmani dan rohani yang harus menyatu dalam satu tujuan manembah kepada Tuhan Sang Maha Kuasa. 

Di buatnya apem menyerupai bentuk keong, konon adanya sebuah peristiwa dalam babad pajang terkait dengan keberadaan Roro Kendat, putra Raja Majapahit yang tak lain adalah adik Roro Pembayun, istri Prabu Sri Makurung Handayaningrat. 

Saat Majapahit mengalami kekalahan akibat serangan Demak Bintoro, Roro Kendat mengikuti kakaknya menetap di Pengging. Saat menetap di Pengging dia jatuh hati dengan kakak iparnya. Sampai pada suatu hari, kakinya luka akibat menginjak keong mas. Luka tersebut tak kunjung sembuh meski sudah di obati kesana kemari. 

Tak hanya cintanya yang kandas, ia juga harus menanggung derita  akibat luka tak kunjung sembuh. Tak kuat menahan beban yang harus di tanggung setiap hari, gadis perawan putra Raja Majapahit tersebut akhirnya memilih mengahkiri hidupnya dengan cara kendat atau bunuh diri. 

Setelah meninggal ia kemudian di kenal dengan sebutan Roro Kendat.

Sebelum di arak dan di sebarkan untuk masyarakat, gunungan apem keong mas lebih dulu  di doakan di Masjid Cipto Mulya. Setelah doa, di lanjutkan dengan sebaran apem dari atas panggung yang sudah di siapkan oleh panitia di depan masjid. 

Bagi warga masyarakat sekitar, memperoleh apem keong mas dari sebaran gunungan  tidak hanya bentuk keberkahan yang mereka dapat, tetapi juga wujud keterkabulan hajad yang dia bawa dari rumah.

Sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan dari sebuah tradisi kearifan yang ada di tengah masyarakat. 

(Tok)

 

close