BUDAYA- Setiap tahun masyarakat Jawa selalu menyambut datangnya bulan sura dengan berbagai macam tradisi adat. Penyambutan tersebut sebagai upaya perenungan hidup yang sudah mereka jalani selama satu tahun penuh perjalanan.
Beragam ritual
adat yang dilakukan oleh masyarakat jawa selama bulan sura sarat dengan makna dan
nilai nilai keillahian pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bulan sura
oleh masyarakat jawa kerap di anggap sebagai bulan keramat. Sebab segala hal
yang berkaitan dengan ritus tradisi adat biasanya di lakukan pada bulan suro. Sehingga
melahirkan kepercayan pantang bagi masyarakat Jawa menggelar acara yang
berkaitan dengan kemeriahan pada bulan suro.
Di
pilihnya tempat keramat seperti gunung, gua, pantai, hutan, makam dan punden pedanyangan
untuk laku spiritual, dikarenakan masyarakat jawa mempercayai adanya energi spiritual
di tempat keramat tersebut.
Begitupun didalam
menjalin hubungan dengan para leluhur, tempat tempat keramat di yakini memiliki
daya kekuatan yang mampu menjembatani antara yang hidup dengan mahkluk di alam kerohanian.
Suasana tenang
menyatu dengan alam menjadikan pikiran positif, bathin menjadi tenang. Sehingga
akan membangkitkan energi positif melalui cipta dan rasa. Energi positif tersebut
kemudian di hantarkan melalui doa, sehingga masyarakat jawa mempercayai mampu
mengetuk dinding ghaib.
Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika pada saat bulan sura tempat tempat keramat
banyak di pakai untuk laku prihatin berkaitan dengan budaya spiritual, demikian
di sampaikan oleh Ki Joko Budaya, pegiat sejarah dan budayawan asal Surakarta.
Tidak di selenggarakanya
hajatan saat bulan sura karena juga merupakan bulan berkabung atas wafatnya
cucu Nabi Muhammad SAW. Sehingga oleh sebagian masyarakat muslim di jawa, pantang
bagi mereka menggelar hajat kemeriahan pada bulan tersebut.
Apalagi di
lingkungan keraton Mataram Islam, mereka biasanya menggelar tradisi hajad dalem
bertepatan pada bulan tersebut untuk membangun keselarasan alam semesta. Oleh
sebab itu paradigma pantang menggelar hajatan pada bulan sura tidak lantas di maknai
secara tekstual, namun secara tersirat.
‘ Banyaknya
peristiwa perenungan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang di lakukan
oleh masayarakat Jawa saat bulan sura, membuat tradisi tidak menggelar hajatan akhirnya
menjadi sakral dan ditabukan.’ Jelasnya.
Sementara itu
dalam budaya spiritual masyarakat jawa, bulan sura merupakan bulan para leluhur.
Sebab segala hal berkaitan dengan tradisi adat spiritual selalu di kaitkan
dengan keberadaan para leluhur.
Seperti halnya
tradisi sedekah bumi, ruwatan, sedekah gunung, sedekah laut, sesirih dan budaya
spiritual lainya.
Sura merupakan
awal bulan pertama penanggalan tahun jawa karya Sultan Agung Hanyakrakusuma, hasil
penyatuan tahun saka dan tahun hijriyah.
Sebagai
seorang raja yang berkuasa di tanah Jawa, Sultan Agung dengan tegas menentang penjajahan.
Kegagalan Sultan Agung beberapa kali menggempur Batavia diakibatkan kurang bersatunya
masyarakat kala itu..
Oleh
karena salah satu alasan tersebut, ia kemudian menyatukan kalender saka dan
hijriyah menjadi kalender tahun jawa, agar masyarakat bersatu dalam satu gerakan
perjuangan yang sama yaitu melawan kolonialisme.
Harapanya,
masyarakat tidak terpecah belah, rakyat tidak mudah di adu domba oleh penjajah.
Bersatunya
dua kalender tersebut saat berjalanya tahun saka 1555 dan 1043 hijriyah.
Sedangkan perjalanan kalender tahun jawa melanjutkan perjalanan tahun saka yang
awal bulan pertama tahun jawa jatuh pada malam 1 sura.
Menurut
sumber manuskrip kalender jawa, tahun saka berdasar pada tahun syamsiyah atau menurut
perhitungan matahari.
Dalam sejarahnya,
kalender 1 saka di awali saat Prabu Saliwagna menjadi raja di tanah Hindustan atau
bertepatan pada 14 Maret 78 Masehi. Prabu Saliwagna berasal dari bangsa Sakya,
ia kemudian dikenal sebagai Prabu Saka atau Aji Saka saat menetap di tanah
jawa.
Di masa pemerintahan
Sultan Agung Hanyakrakusuma di Keraton Mataram Islam, beliau menata paugeran
tahun jawa berdasar tahun kamariyah atau menurut perhitungan rembulan yang bisa
menyakup kebudayaan Jawa, Hindu dan Arab.
Kebudayaan
Jawa di lakukan melalui pelestarian angka tahun saka 1555 yang sebelumnya mendasar
tahun syamsiyah, selanjutnya di jadikan angka tahun jawa berdasar taun
kamariyah.
Kebudayaan Arab mencakup atas dasar tahun kamariyah dengan dasar perhitungan memakai dua belas bulan sesuai dengan bulan tahun arab yang selaras dengan Islam. / Rj