BUDAYA-Ketua Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM), Dr. BRM Kusuma Putra, S.H,M.H, memberikan apresiaasi yang sangat tinggi atas terselenggaranya jambore keris Nusantara yang di selenggarakan komunitas perkerisan di Sasana Sumewa, Pagelaran Keraton Surakarta dari tanggal 23 sampai 26 Juni 2025.
Jamboree keris Nusantara kata Kusuma tidak hanya sebagai salah satu cara upaya pelestarian, namun juga mengenalkan dunia perkerisan di tengah masyarakat, khususnya di kalangan para generasi muda.
Keluhuran senjata tradisional ini tercermin dari sejarah awal saat pertama kali dibuat.
Di ambil dari berbagai sumber manuskrip di ceritakan, bertepatan tahun candrasangkala 150 di tandai dengan ‘ sirna wisayaning bumi ‘, Sri Maharaja Dewa Budha memindahkan keraton Medang kamulan ke gunung Lawu setelah lima tahun bertahta di gunung gede.
Di Gunung Lawu keratonnya di sebut kasuwargan atau tejamaya, arga dumilah, jongring saloka dengan bangsal Mercukundha atau bale Marakata dan wot ogal agil.
Saat bertahta di gunung lawu, Sri Maharaja Dewa Budha meminta kepada Empu Batara Ramayadi agar di di buatkan senjata perang untuk alat kelengkapan Kerajaan.
Senjata senjata tersebut diantaranya, cakra, kunta, katana, cundha, saraba, kalaka, sagri, nagapasa, sangkali, cundrik, patrêm, juga keris dhapur pasupati, dhapur lar ngatap.
Pembuatan senjata tersebut merupakan cikal bakal adanya alat perang dan keris di tanah jawa.
Sedangkan di tahun yang sama, Sang Hyang Bathara Wisnu mengejawantah kembali di tanah jawa menjadi brahmana dengan nama Brahmana Kèstu. Saat mengejawantah, Brahmana Kestu di tantang adu kesaktian oleh Sri Maharaja Berawa namun di menangkan oleh Brahman Kestu.
Akibat kekalahanya, Brahmana Kestu kemudian menjadi raja dengan julukan Sri Maharaja Budhakresna. Sedangkan kerajaan yang berhasil diduduki beralih nama menjadi Purwacarita.
Sementara itu Sri Maharaja Berawa lantas di minta membawahi para lelembut di Krendhayana yang sekarang di kenal dengan nama Krendhawahana.
Tahun candrasangkala 261 di tandai dengan ‘Janma ngobahakên panêmbah” , Sri Maharaja Budhawaka menyerbu Purwacarita, ia mengira yang menjadi ratu Sang Hyang Bathara Kala. Sri Maharaja Budhawaka kala itu membuat berbagai macam senjata perang antara lain, bramastra, keris dhapur tilam upih dan dhapur bale bang. Dhapur tilam upih di berinama Jaka Piturun,sedangkan dhapur bale bang di beri nama Pamunah.
Tahun candrasangkala 262, ditandai ‘ Kalih agana boja’ , Patih Bramakadhali jumênêng raja di Gilingaya ke 2 dengan sebutan Prabu Bramakadhali. Taun candrasangkala 265,di tandai “ Gatining rasa kapêksa “, Sri Maharaja Budhakrêsna kejatuhan tosan aji, kemudian di jadikan keris dhapur buntala, dhapur urap-urap, dhapur sêpang dan dhapur sumpana lêrês.
Kutipan sejarah asal usul keris ini tentu bisa di maknai tingginya peradaban Nusantara pada masa itu, yang sudah mengenal tehnologi metalurgi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak kelompok dan bangsa asing ingin merebut dan merusak sejarah yang ada, agar mereka bisa menguasai kemajuan peradaban milik para leluhur Nusantara.
Selain merusak juga menghilangkan ingatan generasi muda pada budaya bangsanya sendiri. Sebab hanya dengan demikian bangsa asing mudah mengendalikan generasi penerus melalui paradigma pola pikir sesat untuk melupakan sejarah bangsa Nusantara, pungkas Dr.BRM Kusuma Putra, S.H,M.H ./ Jk