Sejarah Wayang Di Tanah Jawa Sebagai Sarana Siar Dan Dakwah

 

Wayang kulit


BUDAYA-Perjalanan siar walisongo di tanah Jawa tentunya tidak dapat di lepaskan dari keberadaan ringgit atau wayang sebagai sarana siar dan dakwah para wali.


Dalam perkembanganya, ringgit sudah ada jauh sebelum walisongo menggunakanya sebagai media siar.


Keberadaan ringgit dari masa ke masa terus mengalami proses perkembangan dari sejak awal di buat dalam bentuk gambar oleh Prabu Jayabaya di Mamenang, Kediri, sampai dengan bentuk dan wujud asli seperti sekarang ini.


Pemanfaatan wayang sebagai media siar dan dakwah tersebut tak lepas dari kecintaan masyarakat Jawa terhadap budaya wayang. Hal itu di sadari betul oleh Sunan Kalijaga, sebagai satu satunya wali Jawa yang masih memiliki garis keturunan dengan raja raja Majapahit.


Sunan Kalijaga memahami betul kecintaan masyarakat Jawa terhadap wayang. Sehingga melalui kreatifitasnya, wayang akhirnya menjadi alat sarana siar dan dakwah.


Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar tontonan namun sudah menjadi bagian dari tuntunan, sekaligus pengambaran para tokoh leluhur masyarakat Jawa yang kala itu meyakini keberadaan para dewa sebagai leluhurnya.


Seperti yang tertulis dalam manuskrip serat jawa kuna ringgit purwa tentang asal usul ringgit yang pertama kali di ciptakan dalam bentuk coretan gambar oleh Prabu Jayabaya yang memuat penggambaran sosok Dewa Bathara Guru dan dewa dewa lain beserta kisah perjalananya.Tak terkecuali para bidadari, ratu, ksatriya, para pendeta, raksasa (buta) dan para wanara (kera).


Prabu Jayabaya juga menggambarkan kisah perjalanan dirinya, para putra, punggawa kerajaan dan semua tokoh yang kala itu sejaman dan semasa denganya.


Dalam manuskrip ringgit purwa, Prabu Jayabaya mulai menggambar para dewa leluhurnya di tahun suryasangkala 861 ( melalui penghitungan matahari). Setelah gambar gambar tersebut selesai, kemudian di sebut dengan nama ringgit purwa.


Coretan gambar di buat dengan media rontal yang di kemudian hari dijadikan gambar obyek tiruan dalam pembuatan arca. Sosok dewa dan manusia dalam gambar rontal di gambarkan sebagai penggambaran manusia dan dewa pada zaman purwa.


Dimasa pemerintahan Raden Panji Kastriyan atau Prabu Suryamisesa di Kerajaan Jenggala, sang Prabu berkenan membangun gambar ringgit purwa dari kepala sampai kaki, namun media yang di pakai masih tetap mempergunakan rontal (daun).


Pada masa itu gending pengiring ringit purwa menggunakan laras salendro (slendro) yang di iringi dengan suluk. Sedangkan gambar gambar ringgit purwa dari rontal di simpan dalam wadah tembaga. Saat Kerajaan Jenggala menyelenggarakan pasamuan agung, ringgit purwa di lakonkan dalam sebuah pertunjukan dan yang menjadi dalang pementasan Prabu Suryamisesa sendiri. Peristiwa tersebut terjadi bertepatan tahun suryasangkala 1145.  


Runtuhnya Kerajaaan Jenggala membuat Prabu Suryamisesa beserta para punggawa kerajaan pindah dan bertahta di Pajajaran dengan gelar Prabu Maesatandreman dan menyempurnakan gambar wayang purwa berdasarkan babon asli ringgit dari Jenggala.


Selanjutnya pada masa Raden Jaka Suruh menjadi raja di Kerajaan Majapahit dengan gelar Prabu Branata di taun suryasangkala 1283, ia mulai menggunakan media lembaran kain yang dapat di gulung sebagai media pertunjukan dan akhirnya di kenal dengan sebutan ringgit beber.


Pagelaran ringgit beber pada masa itu hanya di iringi  rebab dan gamelan slendro. Di gelar hanya untuk kebutuhan ruwatan pada masa masa tertentu. 


Bersambung di masa pemerintahan Prabu Brawijaya pertama, beliau memiliki seorang putra yang berbakat melukis bernama Raden Sungging Prabangkara. Oleh Raden Sungging Prabangkara ringgit beber di sempurnakan dengan cara di beri warna serta di lukis dengan posisi gambar miring. Lukisan ringgit beber tersebut di kelompokan dalam sebuah gulungan, kemudian pada bagian pinggir gulungan di beri kayu yang berfungsi untuk menancapkanya.


Sedangkan tempat untuk menancapkan ringgit beber menggunakan papan kayu yang di lobangi. Peristiwa tersebut berlangsung pada tahun suryasangkala 1301.  


Pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit di gantikan Kesultanan Demak Bintoro di masa kepemimpinan Raden Patah atau Sultan Sah Ngalam Akbar di tahun suryasangkala 1437,  kala sebagian masyarakat Jawa sudah mulai memeluk Islam.


Sultan Demak sangat menyukai sekali kesenian karawitan dan wayang beber. Akan tetapi karena gambar dalam wayang beber tersebut merupakan gambar rupa manusia, para wali kemudian membangun ulang ringgit purwa dengan bahan baku dari kulit.


Kala itu cara pembuatan ringgit belum mempergunakan tatah sungging, hanya di gambar dengan pulas warna hitam dengan posisi gambar miring. Gambar tersebut di beri dasar warna putih dari bahan bubuk tulang. Pada bagian tangan di apit dengan kayu dan pada saat di pentaskan di tancapkan dengan cara berurutan dari kecil sampai dengan yang besar.


Di masa Kesultanan Demak Bintoro para wali berkenan membangun dan melengkapi ringgit purwa sehingga semakin bertambah lengkap, baik bentuk wujud maupun gamelan pengiringnya. Sunan Giri berkenan merubah wujud wanara (kera), Sunan Bonang mengarang ricikan dan membuat kapal.


Sunan Kalijaga lantas melengkapi kesenian ringgit dari mulai kelir atau geber, lampu blencong, gedebog untuk menancapkan ringgit dan gending pengiringnya. 


Tak ketinggalan Sultan Demak juga membangun bentuk gunungan yang biasa di tancapkan di tengah tengah pakeliran. Letak posisi ringgit pada saat di tancapkan di sebelah kiri dan kanan dalang, di desain agar mencukupi pada saat di pakai dalam pementasan ringgit semalam suntuk, dengan mempergunakan pengiring gamelan slendro.  


Sejak ringgit purwa melalui berbagai metamorfosis kebudayaan dari para wali, keberadaan ringgit beber yang semula masih menjadi konsumsi tontonan masyarakat kecil, lambat laun mulai menghilang.


Tahun 1447 pada saat Raden Trenggana jumeneng tahta di Kasultanan Demak, beliau merubah bentuk rupa ringgit purwa melalui proses tatah di bagian telinga, mata dan mulut. Dilanjutkan oleh Ratu Tunggul Giri Kedaton yang mewakili kerajaan Demak juga turut melakukan penyempurnaan ringgit purwa pada bagian bentuk tubuh, rambut yang di urai pada sosok perempuan, pengenaan mahkota, kalung, anting anting dan rambut tokoh ringgit laki laki yang mulai di bentuk sedemikian rupa.


Di antaranya ada yang di gelung, di urai dan diberi jamang. Sedangkan sosok dewa, raksasa dan wanara di buat dalam perwujudan hanya mengenakan cawat seperti halnya bentuk pada arca.


Ratu Tunggul di Giri Kedathon juga  mengarang pakem cerita dan suluk beserta perlengkapan ringgit. Setelah semuanya selesai, penyempurnaan ringgit kemudian dikenal dengan sebutan ringgit kidang kencana. Bertepatan pada tahun candrasangkala 1478 (tahun penghitungan bulan)


Tahun 1485 Sunan Giri membuat ringgit gedog dengan rambut sama halnya seperti ringgit purwa. Gelung rambut di hilanngkan dan semua tokoh memakai keris, memakai gelang anting anting, namun tanpa wanara dan raksasa. Prabu Kelana dan punggawanya memakai udeng dengan mengambil cerita seperti halnya pada serat Panji.  Dengan pakem cerita yang dikisahkan semalam suntuk di iringi gamelan pelog, serta suluk laras lima, enam maupun pelog barang.  


Selanjutnya di era yang hampir bersamaan, Sunan Bonang juga membuat ringgit beber gedhog untuk menandingi ringgit beber purwa dengan memakai iringan rebab, kendang, trebang, angklung, kenong dan keprak yang kemudian di sebut dengan gending gamelan kethiprak.


Perubahan dalam kebudayaan ringgit silih berganti dari jaman ke jaman, tak terkecuali pada masa akhir walisongo di era kasultanan Pajang.  Sultan Hadiwijaya juga melakukan perubahan pada kebudayaan ringgit purwa dalam hal tata busana para raja, ksatriya, para punggawa dan para prajurit di buat semua mengenakan celana ataupun tidak mengenakan celana sesuai dengan kepantasan masing masing ketokohanya.


Sedangkan kera dan raksasa masih memakai cawat dengan wajah bermata dua. Sementara itu tokoh para dewa di buat dalam bentuk miring tanpa mengenakan pakaian seperti halnya pada bentuk arca. Rambut ringgit wanita di buat dengan rambut gendhong. Senjata untuk perang juga mulai dibuat beraneka ragam, ada gada, alugara dan lainya.


Tangan semua dalam tokoh pewayangan masih irasan, di karenakan dasar untuk membangun ringgit di ambil dari ringgit kidang kencana, Demak. Sedangkan pada proses pembuatan ringit purwa dan ringgit gedhog, semua sudah di buat dengan cara di tatah. Perubahan dan penyempurnaan ringgit tiap masa ke masa terus terjadi,  begitupun Sunan Kudus yang juga mulai membuat ringgit golek menyerupai ringgit purwa beserta dengan kisahnya yang di iringi gamelan slendro tanpa kelir. 


Sebagai ganti kelir saat pementasan, Sunan Kudus membuat gawangan dari kayu yang menyerupai bentuk gawangan untuk membatik. Ringgit golek tersebut dibuat hanya untuk pementasan di siang hari. Pada tahun 1506 Sultan Hadiwijaya di Kesultanan Pajang mulai membuat lakon cerita pakem ringgit purwa dan ringgit gedhog.  


Pada masa peralihan Pajang ke Mataram, saat Panembahan Senopati menjadi raja di Kerajaan Mataram Islam, ia juga membangun ringgit purwa dengan mengambil babon dari Pajang. Baik dari segi bentuk tubuh, rambut dan busana dengan menyesuaikan kepantasan masing masing tokohnya.


Panembahan Senopati juga melakukan penyempurnaan pada tokoh Arjuna, Bima, ricikan ringgit beserta binatang dan hutan. Untuk menandai perubahan yang pernah dilakukan, Panembahan Senopati menambahkan tongkat cis pada tokoh Dewa Bathara Guru sebagai penanda sangkalan ‘ Dewa dadi Ngecis Bumi’ yang menandakan tahun 1541.


Pasca surutnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga di gantikan Prabu Anyakrawati Seda Ing Krapayak, beliau berkenan menyempurnakan lagi bentuk ringgit purwa dari babon ringgit kidang kencana. Di masa itu Prabu Anyakrawati banyak melakukan penambahan dan pembangunan dalam kebudayaan ringgit purwa, utamanya pada masing masing tokohnya.


Tak terkecuali tokoh raksasa yang salah satunya  memiliki taring di depan mulut yang di kemudian hari di kenal dengan nama buta cakil. Tokoh ini di pakai sebagai penanda sangkalan “ tangan yaksa tataning jalma’ yang menandakan angka tahun 1552.  


Pada generasi raja Mataram selanjutnya, Sultan Agung Anyakrakusuma juga melakukan pembangunan dalam kebudayaan ringgit purwa dengan cara menyempurnakan perawakan tokoh Baladewa, Kresna, Arjuna, Sembadra, Banowati dan para punakawan.


Sementara itu peradaban ringgit purwa dari jaman ke jaman sejak pertama kali di buat oleh Prabu Jayabaya hingga saat ini, usianya tentu sudah sangat tua sekali. Sedangkan generasi ringgit purwa yang mempergunakan kulit sebagai bahan baku berlangsung dimasa Kesultanan Demak Bintoro oleh walisongo.


Ringgit sebagai media dakwah para wali tentunya tak bisa di lepaskan dari peran penting Sunan Kalijaga, yang kala itu mampu menyebarkan siar sampai kedalam lapaisan kalangan ningrat Jawa. Peran Sunan Kalijaga yang mampu menjadi tokoh sentral sejak dari jaman Majapahit akhir, Demak, Pajang hingga Mataram, membuat agama Islam makin hari makin di terima di tengah masyarakat./ Tok

close