Advertisement
PENDIDIKAN-Monumen
Perisai Pancasila yang berdiri di bantaran sungai Bengawan Sala, Pucangsawit, Jebres,
Solo, merupakan bangunan bersejarah yang di bangun para pejuang sebagai
pengingat peristiwa berdarah Gerakan 30 September PKI yang pernah terjadi di
Kota Surakarta.
Pembangunan
tugu monumental tersebut di prakarsai Yayasan Dharma Pancasila yang di dirikan
pada tahun 1966. Sedangkan salah satu tokoh pemrakarsanya adalah Tukidjo
Martoatmodjo, pendiri perguruan tinggi AUB Surakarta.
Selama berjuang
di masa kemerdekaan sampai setelah pecah peristiwa G30S PKI, Tukidjo bersama para
kawan seperjuangan tidak hanya berjuang memamnggul senjata, tetapi juga mendirikan
monumen untuk mengenang sejarah perjuangan agar tidak hilang di telan masa.
Oleh karena
itu pendirian monument Perisai Pancasila yang di bangun di bantaran Sungai Bengawan
Sala atau yang dulu di kenal dengan peristiwa Kedung Kopi, salah satunya adalah
untuk mengingat G30S PKI di Kota Solo.
Gerakan 30
September 1965 (G30S PKI) merupakan peristiwa pemberontakan atau kudeta yang di
lakukan Partai Komunis Indonesia kepada Pemerintahan era Soekarno dan ingin
mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis.
Selain itu
Monumen Perisai Pencasila juga sebagai simbol kesaktian Pancasila di dalam
menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia, ujar Galih Wisnu Wardhana, Akademisi
Undha AUB Surakarta sekaligus salah satu cucu pendiri Yayasan Dharma Pancasila.
Perisai
Pancasila kata Galih juga sebagai menumen pengingat para generasi muda tentang
nilai nilai pengamalan Pancasila didalam menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan
bangsa. Lima gambar dalam Perisai Pancasila adalah symbol nilai nilai yang harus
di implementasikan di setiap nafas kehidupan di republik ini.
Pancasila bukan
hanya untuk menjaga dan merekatkan perbedaaan antar suku, agama dan bahasa,
akan tetapi Pancasila adalah asas dasar dalam menjalin hubungan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kekokohan ideologi Pancasila juga teruji di setiap
peristiwa dari jaman ke jaman.
Oleh karena
itu melalui symbol dan semangat kebersamaan tanpa menghilangkan nilai sejarah yang
ada, Monument Perisai Pancasila hendaklah menjadi pengingat, khususnya para
generasi muda agar senantiasa mengenang dan mengikuti jejak para pejuang yang tulus
iklas berkorban jiwa dan raga untuk Bangsa dan Negara Indonesia.
Bertepatan
pada tanggal 1 Oktober ini kita harus melakukan refleksi diri, introspeksi diri
untuk melihat kembali hal-hal yang sudah berjalan dalam hidup ini. Mengenang sejarah
masa lalu adalah bagian dari kita merefleksi diri secara kebangsaan, agar
sebagai masyarakat kita dapat memberikan sumbangsih pengabdian untuk bangsa dan
negara.
Apaladi
sebagai seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, pemikiran dan
pengabdian masyarakat, bangsa dan negara, adalah sebuah kewajiban yang harus
dilakukan. Sehingga melalui refleksi tersebut kita akan memiliki kesadaran pada
apa yang sudah kita berikan dan sumbangsihkan kepada masyarakat.
Pancasila
bagi Tukijo Martoadmodjo bukan sekedar symbol dan nilai yang harus di jaga,
melainkan pijakan perjuangan tanpa henti meski Indonesia sudah Merdeka. Melalui
dunia Pendidikan yang di dirikan pada masa awal kemerdekaan lewat Yayasan
Dharma Pancasila, Tukidjo tanpa pernah mengenal lelah kemudian berjuang
mencerdaskan bangsa.
Bagi Tukijo,
perjuangan melalui dunia pendidikan bukan hal yang mudah di lakukan. Karena
akan terus berlanjut meski nafas tinggal sesaat. Bahkan saat dia nanti wafat, generasi
berikutnya harus bisa melanjutkan estafet perjuanganya.
Sehingga atas
dasar ini Tukijo Martoadmodjo merintis dunia pendidikan di Kota Solo. Sebab
hanya dengan ilmu pengetahuan Bangsa Indonesia akan maju, tidak gampang di
jajah dan di adu domba.
Tahun 1953, Tukidjo mulai mendirikan SMP Dahana di Kampung
Sewu. Sekolah tersebut wujud nyata upaya dia memberantas kebodohan dan
kemiskinan.
Berlanjut pada awal 1960-an, ia memprakarsai pembangunan
enam ruang kelas sekolah dasar di Purwodiningratan, Solo. Proyek ini bagian
dari Upaya dia mendukung program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.
Setelah pembangunan selesai, sekolah tersebut lantas diserahkan
pemerintah sebagai bentuk dedikasinya terhadap pembangunan bangsa. Di tahun
yang sama Tukidjo mendirikan Taman Kanak-Kanak Siwi Peni, Purwodiningratan, untuk
pondasi langkah mencetak generasi berkualitas.
Tahun 1969,
Yayasan Dharma Pancasila mendirikan Akademi Uang Bank Pancasila sebagai cikal
bakal perguruan tinggi Universitas Dharma AUB Surakarta. Atas restu para
sesepuh diantaranya, GPH Hadiwidjaya, KHP Soemoharjomo dan Ki Nartosabdo, tahun
1972 Tukidjo mendirikan PLKJ (Pusat Lembaga Kabudayan Jawi).
Tahun 1973 mendirikan
Akademi Pendidikan Sekretaris yang sekarang menjadi Akademi Sekretaris dan
Manajemen Pendidikan (ASMI) Solo. Kemudian, mendirikan Akademi Teknik
Perindustrian (ATP) Surakarta pada tahun 1976.
Disusul dua
tahun kemudian mendirikan Akademi Transmigrasi dan Tenaga Kerja Indonesia
(ATTKI) yang sekarang menjadi Akademi Managemen Industri (AMI) Surakarta. Tukidjo
juga mendirikan SMA Pancasila, Solo, SMA Pancasila Pedan, SMP Dharma Pancasila
di Mojosongo, Solo, serta beberapa TK Dharma Pancasila di Kota Solo.
Tahun 1968
mendirikan Biro administrasi dan Pelayanan Masyarakat (BAPEMAS) dan mendirikan
kursus kursus tertulis (S.A.A dan S.P.A) pada tahun 1973.
Setahun
sebelumnya Tukidjo juga mendirikan lembaga pengamalan Pancasila dengan
mengadakan sarasehan dan penataran tentang pengamalan Pancasila.
Di susul mendirikan
lembaga komunikasi konsumen dan produsen pada tahun 1973, serta persatuan
pengarang sastra jawa dan Indonesia, Koran Mardiko Dharmakanda yang terbit pada
tanggal 5 Oktober 1969 dan LPK Dharma Pancasila dan Poliklinik Tri Dharma
Husada pada tahun 1995.
Sederet
perjuangan Tukidjo Martoatmodjo merintis dunia pendidikan ini tentu bukan usaha
yang mudah, butuh kerja keras dalam berjuang. Atas hasil kerja keras yang di
capai tersebut maka tidaklah aneh jika pendiri Yayasan Dharma Pancasila di
juluki sebagai pelopor dunia pendidikan swasta di Kota Solo.
(Tok)



