BUDAYA-Di ujung timur kota kabupaten Sragen berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur, terdapat makam tua yang di perkirakan berusia pada masa akhir abad 18. Makam tersebut di kenal dengan nama makam keramat Syeck Muhammad Naser atau Kyai Singomodo di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen.
Bagi masyarakat sekitar, makam Kyai Singomdo sejak dulu di kenal keramat. Kekeramatan tersebut tidak hanya berkaitan dengan beberapa pantangan yang sampai saat ini masih terus berlaku untuk warga desa, akan tetapi juga penghormatan warga desa terhadap sosok Kyai Singomodo meski ia sudah lama tiada.
BACA JUGA: Keramat malam 1 Suro
Menurut penuturan juru kunci makam yang masih memiliki garis keturunan anak sulung laki laki dari murid Kyai Singomodho di katakan, banyak versi cerita tentang asal usul sosok Syeck Muhammad Nasir atau Kyai Singomodho.
Sebagian sumber menceritakan, Kyai Singomodho berasal dari
Keraton Kasunanan di masa pembagian Keraton Mataran Surakarta dan Jogjakarta. Sebagian
lainya juga menceritakan, Kyai hidup di
era Amangkurat Kartasura.
Sedangkan versi lain menceritakan, Kyai Singomodho adalah
ulama pengikut Pangeran Diponegoro.
Pasca perjuangan Pangeran Diponegoro berakhir sejak ia di tangkap oleh Belanda, para prajurit dan pengikutnya banyak yang berpencar menetap di berbagai daerah di pulau jawa. Kyai Singomodho, salah satu ulama pengikut Pangeran Diponegoro juga harus menyingkir dari kejaran tentara Belanda.
Ia bersama lima orang muridnya, Sholahudin, Raden Mustofa, Risyal, Munir dan Sholeh, menaiki rakit mengikuti arus sungai bengawan solo. Sampai dimana rakit tersebut berhenti, di situlah Kyai Singomodo bersama para muridnya akan menetap.
BACA: Peran Perempuan Dalam Pengaruh Kekuasaan
Sakit yang di tumpangi Kyai Singomodho bersama lima orang muridnya lantas berhenti di sebuah hutan di pinggir sungai bengawan solo. Di daerah tersebut Kyai Singomodho kemudian tinggal dengan murid muridnya sembari menyebarkan siar islam.
Ia mulai membangun tempat ibadah untuk belajar ilmu agama. Selain mengajarkan ilmu agama, Kyai Singomodho juga kerap memberikan pertolongan kepada warga desa yang membutuhkan. Oleh karena sifat sosialnya yang tinggi serta kedalaman ilmu agama yang dia miliki, membuat warga desa sangat menghormatinya.
Konon menurut pengakuan warga desa sekitar, mereka yang belajar ilmu agama kepada Kyai Singomdho tidak hanya masyarakat sekitar, tetapi juga jin penghuni hutan perdu. Sehingga banyak diyakini, jika hutan pepohonan perdu yang ada di sekitar makam adalah pesantren ghaib tempat para jin menimba ilmu agama.
Sebutan Singomodho konon berasal dari sebuah peristiwa saat pertama kali Syech Muhammad Naser menginjakan kaki di hutan dimana dia sekarang di makamkan. Saat itu dia bertemu dengan sosok jin penunggu hutan berwujud singa yang berhasil di tundukan oleh Syech Muhammad Naser kemudian berguru kepada dia.
Sedangan nama modho merupakan pesan kebaikan dari Syech Muhammad Naser agar dalam berguru tidak boleh membantah atau modho (menyangkal). Oleh karena peristiwa tersebut, Syech Muhammad Naser lantas di kenal dengan sebutan Kyai Singomodo.
Dusun di mana Kyai Singomodo di makamkan, terbagi menjadi dua pedukuhan yaitu Dukuh Modo Wetan dan Modo Kulon. Terdapat kultur mencolok dalam tradisi masyarakat di dua dukuh tersebut.
Batas dua dukuh di buat oleh Kyai Singomodo dengan lemparan batu yang kemudian di garis tongkat dengan cara melingkar tepung gelang. Di timur batas yang di buat oleh Kyai Singomodo, pantang warga desa memutar tembang jawa yang di nyanyikan sinden. Jika pantangan tersebut di langar, maka akan datang musibah.
Oleh karena adanya pantangan tersebut, warga desa yang rumahnya tidak jauh dari makam, mereka memilih tidak mempunyai radio dan televisi.
BACA JUGA : Nilai Adiluhung Tradisi Hajad Dalem Jumenengan Di Keraton Solo
Pantangan itu berawal saat salah satu murid Kyai Singomodo nekad melihat pertunjukan sinden di kala semua murid tengah membangun rumah bersama Kyai Singomodo. Akibat nekad melanggar pantangan, Kyai Singomodo kemudian memerintahkan murid dan sinden tersebut di nikahkan dan tidak boleh menetap di timur batas garis wilayah yang sudah di tentukan oleh Kyai Singomodo.
Selain pantangan untuk warga desa, para peziarah yang berkunjung kemakam juga di larang mengenakan pakaian berwarna hijau muda, serta lebih dulu di haruskan melakukan wudlu.
Banyak kisah aneh di alami orang orang yang melanggar pantangan, bahkan ada salah satu warga sekitar konon hilang entah kemana gara gara menyetel tembang sinden jawa di sekitar makam Kyai Singomodo.
Banyak kisah tentang kesaktian Kyai Singomodo yang di
sampaikan oleh warga desa melalui cerita tutur, salah satunya ia mampu menyelam
selama 7 hari di sungai bengawan solo. Kyai Singomodo juga mampu menghilang
dari pandangan mata kasad saat di kejar pasukan Belanda. / Tok