Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement

metrosurakarta
11/21/2025, 11/21/2025 WIB
Last Updated 2025-11-21T13:08:26Z
SEJARAH

Jejak Gelap Perebutan Kekuasaan di Tanah Mataram

Advertisement

Keraton Surakarta / foto : Metrosurakarta


SEJARAH- Pada tahun 1645 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma wafat. Kedudukan raja saat itu digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang mengawali memerintah pada tahun 1645. Berbeda dengan ayahnya, Susuhunan Amangkurat I bukanlah  raja yang bijaksana dan berwibawa, tetapi memerintah dengan tangan besi dan bersahabat dengan VOC. 


Sehingga banyak ulama dan para bangsawan yang tidak menyukai pemerintahan Amangkurat I.


Sikap Amangkurat I yang menjalankan pemerintahan tangan besi dan berusaha menggenggam seluruh kekuasaan dengan cara menyikat habis lawan lawan politiknya, membuat para ulama menentang kekuasaanya. Mereka yang di anggap menyaingi dan membahayakan kedudukanya di hukum mati. Para ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat dianggap menyaingi kedudukan dan kekuasaannya.


Cara Kejam Amangkurat I mematahkan kekuasaan para ulama yang selalu menentang Belanda ternyata tidak pernah berhasil. 


Di bawah Panembahan Giri, para ulama akhirnya bangkit serentak untuk mematahkan kekuasaan Amangkurat I. Sikap Amangkurat I terhadap raja-raja taklukan juga sangat kejam. Mereka yang dianggap membahayakan Mataram selalu dipecat dan digantikan oleh bangsawan Mataram yang taat dan setia kepadaanya. Bahkan  raja raja taklukan yang tak sejalan banyak yang dibunuh.


Oleh karena itu, lambat laun timbul rasa ketidaksenangan terhadap pemerintahan Amangkurat I. Para bangsawan Mataram yang tidak senang terhadap pemerintahan Amangkurat I justru dipimpin oleh Adipati Anom  (Putra Mahkota: Raden Mas Rahmad ). Hanya saja Adipati Anom tidak berani secara terang terangan menentang ayahnya sendiri.

 

 Adipati Anom diam diam meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama yang merupakan ulama dan kerabat istana Mataram. Raden Kajoran memperkenalkan menantunya yang bernama Trunojoyo, putra Raden Demang Mlayakusuma untuk alat pemberontakan Adipati Anom.

 

Bersama rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram, Trunojoyo kemudian membangun pasukan dan mengawali aksinya dengan melakukan penculikan terhadap Cakraningrat II. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura. Dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura barat dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram.

 

Pasukan Madura pimpinan Trunojoyo kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC.

 

Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri, Surabaya, yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.

 

Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan Madura, Makassar dan Surabaya, akhirnya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Yang pada akhirnya Trunojoyo enggan menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom.


Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676.

 

Trunojoyo juga berhasil menyerbu ibukota Mataram di Plered. Peristiwa tersebut membuat Amangkurat I melarikan diri dari keraton dan menyingkir ke arah barat, hendak pergi ke Batavia untuk mencari bantuan ke VOC. Dalam perjalanan ke Batavia, kesehatan Amangkurat I mulai menurun, sampai akhirnya ia mneinggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat bernama Tegal Arum.

 

Pasca wafatnya Amangkurat I, Adipati Anom kemudian dinobatkan menjadi Amangkurat II. Penobatan Amangkurat II juga menandai Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir utara jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.

 

Pasca kemenangan atas Amangkurat I, Trunojoyo kemudian mendirikan pemerintahan sendiri dengan menyandang gelar Panembahan Maduretno. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa jatuh ke tangan Trunojoyo, meski beberapa wilayah yang lain masih banyak yang setia kepada Mataram. Melalui strateginya, VOC mencoba menawarkan perdamaian dan meminta Trunojoyo secara pribadi datang ke benteng VOC di Donorejo. Namun tawaran tersebut di tolak oleh Trunojoyo.

 

Usai usaha perdamaian tak membuahkan hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis Speelman, akhirnya melalui kekuatan militernya menaklukkan perlawanan Trunojoyo. VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong, dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besarbesaran bersama pasukan Amangkurat II.

 

April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat melakukan penyerangan ke Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit akhirnya dikuasai oleh VOC. Trunojoyo dikepung dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, kemudian dijatuhi hukuman mati.

 

Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II kemudian memindahkan keraton Mataram yang sudah ambruk ke Kartasura. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besar kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura. Sejak saat itu VOC kerap terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.

 

Mengikuti jejak ayahnya, Adipati Anom juga bekerja sama dengan VOC. Ia menandatangani Perjanjian Jepara 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati Anom melawan Trunojoyo. Sebagai gantinya VOC berhak memonopoli perdagangan di pantai utara Jawa. Kerjasama antara Adipati Anom dan VOC akhirnya berhasil mengalahkan Trunojoyo.

 

Keberhasilan Amangkurat II mengalahkan Trunojoyo rupanya tak bisa membuatnya kembali ke istana lama Mataram di Plered, yang saat itu telah di kuasai oleh Pangeran Puger. Putra Amangkurat I lainya yang juga di tugasi merebut Mataram dari tangan Trunojoyo. Amangkurat II terpaksa membangun istana baru di Hutan Wanakarta, yang diberi nama Kartasura. Ia mulai pindah ke istana Kartasura pada bulan September 1680.

 

Dualisme pewaris Amangkurat I ini kemudian saling berebut legitimasi atas tanah Jawa sebagai pewaris Amangkurat I yang sah, melalui perang antara Kartasura melawan Mataram. Pada tanggal 28 November 1681 akhirnya Pangeran Puger menyerah kalah kepada Amangkurat II yang dibantu VOC. Sejak saat itu Mataram resmi menjadi bagian dari Kartasura.

 

Amangkurat II yang naik takhta atas bantuan VOC merasa bahwa ia sangat dirugikan dengan Perjanjian Jepara 1677. Melalui berbagai cara Amangkurat II berusaha melepaskan diri dari perjanjian dengan VOC. Di antaranya dengan membantu perjuangan seorang buronan bernama Untung Suropati. Amangkurat II juga menerima dan membantu pelarian Untung Surapati di Kartasura.

 

Kapten Tack, Pemimpin pasukan VOC yang mengejar Untung Surapati tewas terbunuh di Kartasura. Untung Surapati diangkat sebagai saudara oleh Amangkurat II dan diberikan hadiah sebagai Bupati Pasuruan pertama dengan gelar Wiranegara. Atas peristiwa itu, hubungan VOC dengan Amangkurat II akhirnya memanas.

 

Sepeninggal Amangkurat II terjadi perebutan takhta antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I (Perang Suksesi II). Amangkurat III atau Amangkurat Mas menggantikan Amangkurat II. Sebelum Amangkurat II wafat, ia berpesan kepada Amangkurat III agar berhati-hati terhadap pamannya, Pangeran Puger.

 

Pangeran Puger merasa jengkel karena dialah sebenarnya yang berhak menjadi raja. Untuk menghilangkan kejengkelan tersebut, Amangkurat III dikawinkan dengan anak perempuannya. Akan tetapi Amangkurat III memiliki sifat gemar main perempuan, sehingga membuatnya sering timbul pertengkaran dengan istrinya dan  berakhir dengan perceraian. Hal itu membuat Pangeran Puger sakit hati.

 

Amangkurat III merasakan betapa besar dan kuatnya pengaruh VOC terhadap Mataram. Oleh sebab itu, Amangkurat III lantas berusaha melepaskan diri dari belenggu VOC. Para bangsawan yang nyata-nyata memihak VOC banyak yang dipecat. Sikap Amangkurat III ini mendapat tantangan dari segolongan bangsawan di lingkungannya. Situasi politik saat itu yang tidak menentu rupanya sangat menggembirakan hati bagi Pangeran Puger yang sejak semula ingin menjadi raja.


Bersama golongan kaum bangsawan yang tidak menyukai Amangkurat III, Pangeran Puger mencoba merebut kekuasaan Kartasura. Namun ia berhasil digagalkan dan lari ke Semarang meminta bantuan VOC. Mengetahui permintaan Pangeran Puger, VOC dengan senang hati akan membantunya. Pada tahun 1705 pasukan VOC dan para pengikut Pangeran Puger berhasil merebut Kertasura.

 

Dengan demikian  Amangkurat III bertahta hanya 2 tahun, dari tahun 1703 sampai dengan tahun 1705. Sedangkan Sunan Paku Buwono I bertahta di Kartasura dari tahun 1705 sampai dengan 1719. Sebagai balas jasa atas bantuan VOC yang telah mendudukan dirinya sebagai raja di Kartasura, Paku Buwono I menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura Timur kepada VOC. Disamping itu setiap tahunnnya Kartasura bersedia mengirimkan sejumlah beras ke Batavia. Sejak saat itu pengaruh kekuasaan VOC di Kartasura semakin besar.


Setelah Paku Buwono I meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Prabu Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi. Amangkurat IV bertahta di Kartasura dari tahun 1719 sampai dengan tahun 1727. Kemudian digantikan Sunan Paku Buwono II, mulai tahun 1727. Pada tahun 1742 orang-orang Cina pelarian dari Batavia bekerja sama dengan Mas Garendi yang merupakan cucu Sunan Mas melakukan pemberontakan (geger pecinan). Ia berhasil menguasai Kartasura dan bertahta  dengan gelar Amangkurat V.

 

Kekalahan atas pemberontakan Mas Garendi membuat Sunan Paku Buwono II kemudian meminta bantuan kepada VOC. Setelah menandatangani soal imbalan yang akan diberikan untuk VOC, VOC kemudian menyerang Mas Garendi. Kekalahan Mas Garendi atas serangan VOC membuatnyaa dibuang ke Srilangka. Selanjutnya Sunan Paku Buwono II bertahta kembali di Kartasura.

 

Keraton Kartasura yang telah rusak oleh pemberontakan Raden Mas Garendi, membuat Sunan Paku Buwono II berkeinginan memindahkan Keraton Kartasura ke Surakarta. Yang pada akhirnya di pilihlah Desa Sala sebagai tempat untuk mendirikan istana Mataram yang baru di Surakarta dengan nama Kerataon Kasunanan Surakarta.  ( dari berbagai sumber)