PENDIDIKAN-Setiap tahun seakan enggan berhenti persoalan Penerimaan
Mahasiswa Baru (PMB) antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi
Swasta (PTS).
Dari mulai system pendaftaran mandiri yang di lakukan secara
berjilid jilid oleh PTN hingga mempersempit ruang perolehan mahasiswa baru di
kampus PTS, sekarang tengah di sorot lagi oleh anggota Komisi X DPR RI dari
Fraksi Nasdem, Lita Machfud Arifin, yang mengungkapan adanya salah satu PTN
menerima lebih dari 30ribu mahasiswa baru, sehingga banyak kampus swasta
unggulan yang ada di sekitarnya harus gigit jari.
Fenomena tersebut sebenarnya banyak dialami kampus swasta di berbagai daerah. Tak hanya
kebijakan pembatasan kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN yang harus
dilakukan, namun masa penerimaan juga
harus di batasi, baik negeri maupun swasta, agar rasio dosen dan mahasiswa
seimbang.
Kebijakan Kemendiktisaintek yang di nilai kurang berpihak pada
kampus swasta tentu banyak menuai kritik. Bahkan saat rapat kerja antara Komisi
X DPR RI dengan Kemendiktisaintek, Lita Machfud Arifin meminta agar Kemendiktisaintek
membatasi jumlah kuota penerimaan mahasiswa baru di kampus negeri.
Sementara itu, akademisi sekaligus ketua Yayasan Dharma
Pancasila, Dr. Anggoro Panji Nugroho, M.M mendukung langkah pembatasan PMB di
kampus negeri.
‘ Sebab jika tidak di batasi, kampus swasta hanya akan
menjadi penonton. Lambat laun akan tutup’ Ujarnya
Pemerintah sebagai regulator harusnya memahami persoalan di
lapangan. Tidak membiarkan terjadinya monopoli dalam penerimaan mahasiswa baru.
PTS dan PTN memiliki peran yang sama dalam mencerdaskan bangsa.
Bahkan secara history, banyak kampus kampus swasta yang
lebih dulu berdiri dan berjuang merintis pendidikan tinggi di berbagai daerah.
History peran kampus swasta tersebut hendaknya di ingat dan
di pertahankan keberadaanya. Tidak justru di lemahkan melalui system yang kurang
berpihak pada Perguruan Tinggi Swasta.
Pemerintah kata Anggoro harus menciptakan iklim persaingan
yang sehat agar PTS dapat terus berkembang, serta memberikan kontribusi positif
bagi dunia Pendidikan, termasuk pemberian bantuan dan fasilitas yang adil.
Pemerintah juga harus mendorong sinergi antara PTS dengan
Pemerintah Daerah untuk memastikan peran aktif kampus swasta dalam pembangunan di
daerah dan nasional.
Apalagi seluruh system penerimaan mahasiswa baru saat ini
sudah menggunakan digitalisasi, sehingga kemudahan akses, praktis dan efisiensi
dapat di lakukan. Begitu juga pembatasan kuota penerimaan mahasiswa baru
antara PTN dan PTS juga dapat di lakukan melalui digitalisasi.
Kurang maksimalnya pemanfaatan teknologi digitalisasi dalam
dunia pendidikan juga dapat di rasakan di berbagai daerah, salah satunya di
Kota Solo. Saat penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025 ini, sekolah tersebut
hanya menerima 1 orang murid saja.
Hal itu tentu sangat ironi sekali. Melalui system
digitalisasi dan data kependudukan terpadu, pemerintah seharusnya memahami
jumlah data penduduk di daerah. Tak terkecuali angka jumlah sekolah yang ada di
setiap wilayah mereka.
Sehingga melalui data tersebut pemerintah dapat membagi
kuota siswa baru yang ada di tiap tiap wilayah, agar tidak terjadi ketimpangan.
Di tengah gejolak permasalahan pendidikan yang ada saat ini,
jurang ketimpangan antara PTN dan PTS kian nyata makin lebar. Bagi sebagian PTS,
pokok masalah yang ada sangat kompleks. Jika dibiarkan terus terjadi maka
sistem pendidikan tinggi di Indonesia akan kehilangan keseimbangannya.
Lembaga pendidikan akan kehilangan kemampuan mencetak sumber
daya manusia yang berkualitas, karena hanya bergerak satu arah saja. Tidak semua
berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa. Dunia Pendidikan tinggi juga akan jauh
dari nilai nilai Pancasila.
Menurunya jumlah pendaftar di PTS bukan sebuah peristiwa
yang berdiri sendiri, melainkan dari akar komplek kebijakan yang harus di
kritisi, agar semua Lembaga Pendidikan dapat berkontribusi pada pembangunan
bangsa dan negara.
Meski di akui Anggoro, PTN lebih memiliki daya tarik untuk
mahasiswa baru.
Oleh karena itu didalam menghadapi persaingan tersebut, PTS
harus memperkuat layanan pendidikan melalui inovasi. Pemerintah bersama Lembaga
Pendidikan, baik perguruan tinggi maupun dasar dan menengah harus bergotong
royong untuk menciptakan sinergitas demi terwujudnya Indonesia Emas yang cerdas
dan bermartabat. / Tok