PARIWISATA-Tak hanya
dianggap sebagai salah satu peninggalan Candi sejarah yang paling lengkap di
masa pemerintahan Prabu Brawijaya
terakhir, tetapi peninggalan ini menjadi salah satu tempat suci sekaligus di
sakralkan dan dipercaya mampu menghancurkan segala bentuk kutukan. Kesucian
tempat keramat dan sakral yang sarat dengan nuansa mistis tersebut dipercaya
menjadi tempat bersemayamnya para dewa dan resi resi suci di tanah Jawa.
Meski telah menjadi
tempat tujuan wisata umum dan wisata religi, Candi Cetho merupakan tempat suci
yang harus terus dihormati dan di jaga agar jangan sampai peninggalan sejarah
Majapahit ini rusak. Candi yang berada di dusun Cetho Desa Gumeng, Jenawi
Karanganyar tersebut berada di lereng sebelah barat Gunung Lawu.
‘ Selain di
kunjungi para wisatawan, Candi Cetho juga dipergunakan untuk ritual keagamaan
sekaligus ritual tradisi adat Jawa masyarakat sekitar maupun orang orang yang
datang dari luar daerah untuk menggelar upacara tradisi.dan keagamaan’ Kata Kasmin, salah satu tokoh masyarakat Dusun
Cetho.
Menurutnya, tak
hanya pengunjung yang datang dari dalam pulau Jawa saja, dari luar Jawa seperti
Bali, NTT serta pengunjung lainya yang berasal dari wilayah Indonesia timur dan
luar negeri seringkali mengunjungi tempat ini untuk menggelar upacara keagamaan,
selain para pelaku ritual ngalap berkah dan juga laku prihatin di Candi Cetho. Keberadaan
Candi Cetho dianggap sebagai salah satu Candi tertua yang masih sangat
dihormati para pemuka Hindu di Jawa dan Bali. Karena di tempat inilah para resi
resi suci pada masa itu pernah berdiam diri. Kata Kasmin, tokoh masyarakat desa
Cetho sekaligus pegawai magang di dinas Pariwasata Pemkab Karanganyar.
Lebih lanjut
Kasmin mengatakan, bagi masyarakat Desa Cetho wujud rasa syukur yang dilakukan
penduduk setempat di wujudkan melalui beberapa ritual adat yang di gelar pada
saat bulan bulan tertentu. Beberapa diantaranya tiap menjelang wuku mondhosia
yang jatuh pada hari selasa kliwon. Pada bulan ini seluruh penduduk di sekitar
Candi Cetho menggelar upacara tradisi keselamatan dan wujud rasa syukur kepada
Hyang Widhi sekaligus merupakan wujud penghormatan kepada para leluhurnya.
Beberapa sesaji
di persiapkan pada saat mengelar upacara mondhosio, diantaranya tumpeng,
panggang ayam, bunga tujuh warna dan sesaji lainya yang memiliki ciri khas
tradisi Jawa kuno sebagai perwujudan rasa syukur. Selain tradisi mondhosio
warga juga menggelar upacara ritual menjelang berlangsungnya hari raya
galungan, nyepi dan tambak geni.
Tak hanya dari
masyarakat sekitar saja yang melakukan ritual upacara adat di Candi Cetho,
menjelang tahun baru Jawa atau malam satu suro penduduk desa Cetho serta para
pelaku ritual lainya yang menganut kejawen kuno juga menggelar upacara tradisi
adat di Candi Cetho. Para pelaku ritual kejawen yang mendatangi Candi Cetho
berharap agar bisa mendapatkan pencerahan hidup dengan manyatu bersama alam
sekaligus berharap kepada Gusti penguasa alam semesta agar segala keinginanya
bisa terwujud .Jelas Kasmin.
Candi Cetho
memiliki beberapa trap tingkatan hingga ke puncak utama candi. Selain beberapa
peninggalan arca dan batu pahatan yang memiliki cerita sejarah keberadaannya, di tempat ini juga terdapat beberapa bangunan
yang biasa di pergunakan sebagai tempat untuk upacara ritual adat Jawa kuno.
Candi yang
memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter ini dengan pola halaman
berteras memiliki 13 teras bersusun seperti bangunan punden berundak pada masa
prasejarah kuno. Terdapat beberapa sengkalan memet angka tahun yang di wujudkan
dalam bentuk pahatan binatang, tumbuhan dan masih banyak bentuk pahatan
sengkalan memet lainya yang menandakan tahun pembuatanya.
Terdapat beberapa
pahatan sengkalan memet binatang tiga ekor katak, mimi, ketam, seekor belut dan
tiga ekor katak yang menjelaskan tahun pembuatan Candi pada tahun 1373 saka
atau 1451M. Di sebuah bangunan dinding teras ke VII terdapat prasasti yang
menjelaskan bahwa pembangunan Candi juga sebagai peringatan tempat pangruwatan
atau tempat untuk membebaskan dari kutukan.
Hal ini terlihat dari beberapa arca
candi yang berupa simbol simbol dan mitologinya. Mitologi yang disampaikan
berupa cerita Samudramanthana dan Garudeya, sedangkan simbol vagina dan phallus
dapat di tafsirkan sebagai simbol kelahiran kembali setelah terbebas dari
kutukan.
Cerita
Samudramanthana menceritakan kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk
mencari air amarta atau air kehidupan, dan Gunung Mandara dipakai sebagai
pengaduknya. Sedangkan Dewa Wisnu berubah wujugnya menjadi sosok seekor kura
kura yang menopang Gunung Mandara.
Ceritera
pengadukan lautan susu ini di awali oleh Kadru, istri Kasyapa yang mencoba
menebak bahwa ekor kuda yang membawa air amarta pada saat keluar dari lautan
susu berwarna hitam, sedangkan Winata salah seorang Istri Kasyapa lainya menebak
ekor kuda yang keluar dari lautan susu sambil membawa air amarta berwarna
putih. Tetapi salah satu istri Kasyapa yang bernama Kadru dab anak anaknya
berlaku curang.
Ekor kuda yang
seharusnya berwarna putih berubah menjadi hitam, lantaran anak anak Kadru yang
berwujud ular menyemburkan bisanya sehingga ekor kuda yang seharusnya putih
berubah menjadi hitam. Meski dengan cara curang tetapi Kadru memenangkan
taruhan dan menjadikan Winata sebagai budak. Sedangkan cerita Garudeya
mengisahkan tentang pembebasan Winata oleh anaknya Garudeya.
Garudeya menemui
para ular dan memintanya agar ibunya di bebaskan dari budak Kadru. Para ular
setuju tetapi dengan syarat minta di tukar dengan air kehidupan. Mendengar
permintaan syarat para ular, Garudeya kemudian pergi ke tempat penyimpanan air
amarta yang di jaga para dewa, kemudian menyerahkannya kepada para ular maka terbebaslah Winata dari
perbudakan Kadru.
‘ Oleh sebab itu
Candi Cetho sampai sekarang masih dianggap suci, karena dipercaya memiliki
kekuatan untuk membebaskan segala kutukan. Selain itu juga dianggap sebagai
tempat para dewa dan resi ‘ Ujar Kasmin.
Terdapat sebuah
arca yang berbentuk phallus tengah menghadap ke arca vagina yang disatukan dengan bentuk garuda. Simbol
ini sebagai wujud kelahiran kembali seseorang yang telah terbebas dari kutukan.
Selain ini terdapat juga sebuah arca yang berbentuk kelamin laki laki berada di
sebuah joglo kecil terbuat dari kayu, serta arca sebuah patung manusia tengah
menembah kepada Hyang Widhi yang terletak di susun teras kedua dari puncak
candi. Tempat ini menurut kepercayaan penduduk setempat menjadi tempat palenggahan
Prabu Brawijaya.
Terlihat beberapa
sesaji, perabuan hio dan pesanggrahan batu yang dipergunakan para pelaku ritual
untuk berdoa memohon kepada Hyang Widhi.
Beberapa tempat
di Candi Cetho seringkali menjadi tempat untuk menyanggarkan berbagai logam
dasar pembuatan keris. Dengan cara di sanggarkan dipercaya logam tersebut telah
memiliki tuah kekuatan ghaib yang bersumber dari alam. Oleh karena itu beberapa mpu pembuat keris di Jawa sangat
meyakini hal ini, karena salah satu tempat di Candi Cetho dipercaya menjadi
tempat pesanggrahan Mpu Barada, resi suci semasa dinasti Majapahit.
Tak hanya Candi
Cetho yang menjadi tempat tujuan spiritual para pelaku ritual, di kawasan ini
terdapat juga sebuah Puri Dewi Saraswati yang dibangun oleh para pemangku adat.
Keberadaan Patung Dewi Saraswati yang berada di Puri ini merupakan pindahan
dari patung yang sebelumnya di letakan di Candi Sukuh. Dikarenakan telah terjadi
sesuatu hal yang ghaib maka Patung Dewi Saraswati kemudian dipindahkan ke Candi
Cetho.
“Patung Dewi
Saraswati konon pernah menitikan airmata saat berada di Candi Sukuh, oleh sebab
itu kemudian dipindahkan ke Candi Cetho dan dibuatkan sebuah Puri’ Kata salah
satu warga Cetho.
Sebelum
dipindahkan ke tempat yang baru, beberapa pemangku adat mendapatkan perintah
whisik ghaib untuk melaksanakan pemindahan ini, dengan harapan agar patung Dewi
Saraswati berada satu tempat di sebuah
area suci. Sejak saat itu kemudian di bangunlah sebuah Puri unutk menempatkan
patung Dewi Saraswati di atas sebuah kolam yang berada di area pemujaan.
Selain Puri
Saraswati, tepat berada di sebelahnya terdapat sebuah sendang suci yang airnya
di percaya mengandung kekuatan suci sebagai pelebur kutukan. Sumber mata air
yang keluar dari dalam akar pohon di tampung di sebuah bak batu alam pegunungan
untuk sesuci para pelaku ritual yang ingin menggelar doa dan ritual di tempat
ini.
‘Semua yang ada
di sini merupakan anugerah dari Tuhan untuk menusia. Kuasa Tuhan melalui sumber
alam banyak memberikan manfaat bagi umat manusia, untuk itulah manusia harus
menjaga keseimbangan alam ini agar tak rusak karena ulah menusianya sendiri’
Jelas Kasmin.
Masih menurut
Kasmin, air yang berasal dari sendang pundisari memiliki tuah yang bermanfaat
bagi umat manusia. Semua ini merupakan keseimbangan alam yang memang sudah di
takdirkan oleh Tuhan. Apa yang menjadi persoalan hidup umat manusia Tuhan telah
memberikan obat penawarnya melalui sumber alam CiptaanNya.
Penyakit separah
apapun alam pasti telah menyediakan obat bagi kesembuhanya, bahkan sebelum
manusia mengenal dunia medis, para leluhur jaman dahulu telah mengenal bagaimana
mencari obat melalui sumber alam, air , tumbuh tumbuhan dan masih banyak sumber
daya alam lainya yang bermanfaat bagi umat manusia. Hanya saja sekarang manusia
lupa dengan kodratnya yang telah dikarunia akal dan pikiran. Tuhan tidak akan mengabulkan
permohonan doa umatnya tanpa umat itu sendiri mau bekerja keras.
“ Selain sebagai
sarana penyucian, air dari dalam sendang pundisari juga bermanfaat bagi
kesembuhan ‘ Tegas Kasmin.
Kesakralan
sendang pundisari tak lepas dari kesucian Candi Cetho, di tempat ini berbagai
macam sesaji dan songsong payung terlihat dipersembahkan para pelaku ritual
demi menghormati sumber alam pemberian Tuhan yang menjadi lantaran atas
kuasaNya. Beberapa sesaji selain bunga dan hio puluhan duit receh serta duit
yang khusus untuk ritual dengan lubang di tengahnya nampak berserakan di
sekitar sendang pundisari.
Sesaji yang
dipersembahkan para pelaku ritual di sendang pundisari bukan satu keharusan
yang harus dilakukan, namun menjadi satu keseimbangan alam sebagai perwujudan
rasa syukur kepada alam dengan memberikan sesaji kepada para leluhurnya.
Pungkas Kasmin.
(Tok)