SEJARAH- Pura
Mangkunegaran merupakan istana Kadipaten Mangkunegaran yang
didirikan oleh Raden Mas Said atau yang lebih di kenal dengan julukan Alap alap
Sambernyawa.
Bangunan asli
istana tersebut dahulu merupakan kediaman Patih Sindureja ( patih Keraton Kasunanan Surakarta). Pasca Perjanjian Salatiga
tahun 1757, bangunan istana tersebut lantas diserahkan
kepada KGPAA Mangkunegara I ( Gelar
Raden Mas Said setelah menduduki tahta Pura Mangkunegaran). Istana Mangkunegaran
kemudian dibangun dan diperluas mengikuti
arsitektur keraton.
Pendirian Kadipaten Mangkunegaran
merupakan bagian dari realisasi Perjanjian Salatiga antara kelompok Raden Mas
Said, Sunan Pakubuwana III, Sultan Hamengkubuwana I, dan VOC. Raden Mas Said lantas diangkat menjadi
seorang "Pangeran Adipati Miji" dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I.
Secara
arsitektur kompleks bangunan Pura Mangkunegaran memiliki bagian
menyerupai keraton, seperti pamédan, pendhapa, pringgitan, dalem,
dan keputrèn. Seluruh kompleks dikelilingi oleh tembok, hanya
bagian pamédan yang diberi pagar besi.
Sebagaimana
bangunan utama di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, Pura
Mangkunegaran mengalami perubahan pada ciri dekorasi Eropa yang populer saat
itu.
Pura
Mangkunegaran dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur Jawa dan gaya
arsitektur Empire, sebuah gaya arsitektur asal Prancis yang
berkembang pada abad ke-18 hingga abad ke-19 dan diperkenalkan ke Hindia Belanda pada awal abad ke-19 dan berkembang pada
abad ke-20.
Penggunaan
arsitektur Eropa dapat dilihat dari adanya gable (struktur
atap yang tersusun dari dua bidang atap yang saling berlawanan arah). Dormer (jendela
atau lubang angin yang ditambatkan pada bagian atap) di seluruh bangunan Pura
Mangkunegaran.
Penggunaan
susunan atap bersegi banyak pada bagian sayap Pringgitan dan Pracimayasa.
Penggunaan tiang besi bergaya kolonial sebagai penahan tambahan bagi atap
emperan di semua bagian Pura Mangkunegaran. Penggunaan ornamen hias yang
cenderung ditemukan di gedung-gedung berarsitektur Eropa seperti relief
malaikat, kaca patri, lampu gantung, dan hiasan-hiasan bergaya Eropa.
Bangunan utama
menghadap ke halaman yang luas serta orientasi bangunan penunjang yang
menghadap ke bangunan utama dengan tujuan agar raja bisa mengawasi langsung
bagaimana pegawainya bekerja.
Sedangkan
arsitekur Jawa pada istana Pura Mangkunegaran dapat dilihat dari penggunaan
ornamen-ornamen arsitektur Jawa pada bentuk atap, tiang saka, dan ragam hias
Jawa. Penggunaan konsep aling-aling yang berfungsi sebagai
perintang agar orang luar tidak bisa melihat bagian dalam Pura Mangkunegaran
secara langsung.
Penggunaan
kosmologi Jawa dalam fisik Pura Mangkunegaran. Posisi bangunan utama Pura
Mangkunegaran di bagian inti menggambarkan posisinya sebagai pusat dari mandala.
Bangunan Pura Mangkunegaran yang menghadap ke selatan, diasosiasikan dengan Ratu kidul sebagai penguasa Laut Selatan yang melambangkan
hubungan istana dengan entitas gaib.
Hubungan ini
memliki dua fungsi yakni bentuk legitimasi politik dan meminta perlindungan
non-fisik, serta pembagian ruang dalam Pura Mangkunegaran yang berdasarkan
arsitektur Jawa.
Dalam
arsitektur Jawa, pembagian ruangan rumah
dibagi berdasarkan tingkat privasi. Semakin dalam sebuah ruang maka semakin
tinggi privasinya.
Pembagian
ruangan pada Pura Mangkunegaran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pendhapa
Ageng dan bangunan kantor yang dapat dikunjungi orang biasa, kemudian
ada Pringgitan yang hanya dapat dikunjungi oleh tamu,
dan Dalem Ageng yang hanya dapat dimasuki oleh keluarga
Mangkunegara dan abdi dalem.
Setelah pintu
gerbang utama akan tampak pamedan, lapangan tempat latihan para prajurit pasukan
Mangkunegaran. Di sebelah timur pamedan terdapat markas pasukan infanteri
dan kavaleri Legiun Mangkunegaran yang
berbentuk bangunan benteng.
Pintu gerbang
kedua menuju halaman dalam terdapat Pendhapa Ageng yang
berukuran 3.500 meter persegi. Pendopo tersebut mampu menampung lima sampai
sepuluh ribu orang orang.
Warna kuning
dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna paré anom yang
merupakan warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit pendopo yang
berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan di langit-langit ini tergantung
deretan lampu gantung antik.
Tepat di
belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka bernama Pringgitan,
yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan seluas
1.000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur pengantin
kerajaan, sekarang berfungsi sebagai museum.
Selain
memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) berlapiskan tenunan sutera yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum
ini juga memamerkan perhiasan, senjata-senjata, pakaian-pakaian, medali-medali,
perlengkapan wayang, uang logam, gambar adipati-adipati Mangkunegaran serta
berbagai benda-benda seni.
Di bagian
tengah Pura Mangkunegaran atau di belakang Dalem Ageng, terdapat
tempat kediaman keluarga Mangkunegaran. Tempat ini memiliki suasana tenang
seperti rumah pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para
keluarga keturunan pangeran adipati.
Taman di
bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias,
juga merupakan cagar alam dengan
sangkar berisi burung, patung-patung klasik bergaya Eropa, serta kolam air
mancur. Menghadap ke taman terbuka, terdapat sebuah bangunan bernama Beranda
Dalem (atau sering disebut Pracimayasa) yang bersudut
delapan, di mana di dalam bangunan terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa
yang indah.
Kaca-kaca
berbingkai emas terpasang berjejer di dinding. Dari beranda menuju ke dalam
tampak ruang makan dengan jendela kaca berwarna yang menggambarkan pemandangan
alam di Jawa, ruang ganti dan rias para putri pangeran adipati, serta kamar
mandi yang indah.
Selain itu, di
dalam lingkungan Pura Mangkunegaran juga terdapat Perpustakaan Rekso Pustoko yang
didirikan pada tahun 1867 oleh Mangkunegara IV.
Perpustakaan
tersebut terletak dilantai dua, diatas Kantor Dinas Urusan Istana di sebelah
kiri pamedan. Perpustakaan yang daun jendela kayunya dibuka
lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk, sampai sekarang masih digunakan
oleh para sejarawan dan pelajar.
Mereka dapat
menemukan manuskrip yang bersampul kulit, buku-buku berbagai bahasa
terutama Bahasa Jawa, banyak
koleksi-koleksi foto yang bersejarah dan data-data mengenai perkebunan dan
pemilikan Mangkunegaran yang lain.
(Dari berbagai sumber, wikipedia)