BUDAYA- Keraton Surakarta merupakan Kerajaan yang berdiri pada tahun 1745 sebagai penerus dinasti Mataram Kartasura yang beribu kota di Kartasura, selanjutnya pindah di Desa Sala.
Kemudian, berlakunya PerjanjianGiyanti dan diadakannya Pertemuan
Jatisari pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya KasunananSurakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan
sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya Susuhunan Pakubuwana III,[sedangkan
sebagian wilayah Kasunanan Surakarta yang lain diperintah oleh Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di kota Yogyakarta, dan wilayah kerajaannya kemudian disebut Kesultanan
Yogyakarta.
Keraton dan
kota Yogyakarta sendiri
baru dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang
lebih dulu berdiri. Adanya Perjanjian
Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kasunanan,
dengan diberikannya sebagian daerah apanase di
dalam wilayah Negara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota
kerajaan) kepada Raden Mas Said yang mendirikan
Pura Mangkunegaran.
Sejak tahun 1755 itulah, Kasunanan Surakarta bersama
dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus Kesultanan
Mataram, karena penguasanya kelanjutan dan keturunan raja-raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta bergelar susuhunan atau sunan, sedangkan Raja Kasultanan
Yogyakarta bergelar sultan.
Di pindahkanya Keraton Kartasura ke Desa Sala karena bangunan Keraton Kartasura sudah hancur akibat pemberontakan
pecinan pada tahun 1742.
Oleh karena
dianggap telah "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lantas memerintahkan
Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya,
kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha,
serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari
lokasi ibu kota dan keraton yang baru.
Setelah itu,
dibangunlah sebuah kompleks keraton di lokasi ibu kota baru yang sudah
ditetapkan, yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura;
tepatnya berada di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo.
Untuk membangun
keraton tersebut, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu Desa Sala
yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe
Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.
Pemindahan
keraton Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama,
menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu bisa menjadi
baik, ramai, serta makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, namun
kekuasaan itu dapat berlangsung lama.
Kedua, Desa
Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua
sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai
arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa
Sala dekat dengan Bengawan Solo, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman
dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa bagian tengah
dengan Jawa bagian timur.
Fungsi
Bengawan Solo sebagai penghubung tersebut dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad
ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur
darat.
Sala juga
merupakan desa yang ramai, sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan
tenaga untuk pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di
dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturono dan Gabudan. Keduanya ditempati
oleh abdi dalem pembuat babud (permadani).
Dengan
pertimbangan tersebut, kebijakan VOC yang
telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang
baru mudah dicapai dari Semarang dan
harus dijaga, sehingga pemerintah mudah mengirim bala bantuannya, karena
Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram.
Orang Jawa mempercayai
keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di
atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak, sehingga dibangunlah keraton
di wilayah tersebut.
Atas
kehendak Susuhunan Pakubuwana II,
Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha lantas diperintahkan merencanakan serta menentukan urut-urutan
perjalanan perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta.
Setelah
upacara tradisional selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura / Muharam
tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745, Susuhunan
pindah dari Kartasura ke keraton yang baru.
Dalam Babad Giyanti I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu
Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Pudya Kapyarsih ing Nata,
Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.
Selanjutnya,
oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta
Hadiningrat. Nama "Surakarta" digunakan sebagai kebalikan dari
"Kartasura", yang dimaksudkan untuk membuang riwayat buruk mengenai
peristiwa jatuhnya Keraton Kartasura di tangan pemberontak.
Selain itu,
kata sura dalam bahasa Jawa memiliki arti "keberanian"
dan karta berarti "makmur" (versi lain
mengartikannya sebagai "penuh" atau "sempurna"), dengan
harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penghuninya adalah orang-orang
yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.
(berbagai sumber).