BUDAYA-Bertepatan pada penanggalan jawa 27 Rabiul Akhir 1959, (Senin, 20 Oktober 2025) Keraton Kasunanan Surakarta menggelar prosesi adat wilujengan mahesa lawung di Alas Krendawahana, Gondangrejo, Karanganyar.
Tradisi adat yang di gelar setiap tahun tersebut merupakan
wujud raya syukur Keraton Kasunanan Surakarta beserta para kawulanya, sekaligus
untuk menjaga hubungan keselarasan dan keseimbangan alam semesta, antara manusia
dengan alam dan manusia dengan Tuhan Sang Maha PenciptaNya.
Di himpun dari berbagai sumber literasi pustaka keraton,
wilujengan mahesa lawung sudah di lakukan sejak jaman dulu dengan nama sesaji
Rajaweda, yang di awali pada masa Prabu Sitawaka berkuasa di Kerajaan Gilingaya.
Di kisahkan pada masa itu Kerajaan Gilingaya tengah di landa
wabah pagebluk penyakit dan kematian. Rakyat Gilingaya tanpa henti di serang
wabah kematian. Pagi sakit sore mati, sebaliknya jika sore terserang penyakit, keesokan
harinya meninggal dunia.
Setiap hari kematian datang silih berganti, hingga membuat Prabu
Sitawaka tak mampu berbuat banyak. Ia lantas meminta pertolongan kepada Brahmana
Radi yang di tandai dengan sengkalan ‘Pujaning Brahmana Guna’ atau angka
tahun 378.
Tak lama setelah bertemu dengan Prabu Sitawaka, Brahmana
Radi kemudian menggelar upacara penumbalan sesaji bertepatan pada masa pergantian
tahun. Ia meminta seluruh rakyat Gilingaya membuat barikan sebagai sarana untuk
penolak balak.
Pemberian sedekah sesaji pada masa itu di kenal dengan nama
Gramawedha yang maknanya, wujud rasa syukur kepada Hyang Widhi, yang saat itu
bertepatan dengan upacara sesaji rajawedha.
Tak selang lama setelah upacara pemberian sesaji tersebut di
lakukan, Kerajaan Gilingaya terbebas dari wabah penyakit dan kematian.
Seiring dengan berjalanya waktu, wilujengan mahesa lawung
akhirnya terus berlanjut dari zaman ke zaman hingga ke Keraton Mataram Islam.
Sementara itu bagi Keraton Kasunanan Surakarta, Alas
Krendawahana merupakan satu dari empat pancer tanah jawa selain, Gunung Lawu di
timur, Alas Krendawahana di utara, Gunung Merapi di sebelah barat dan Segara
Kidul di Selatan.
Masing masing pancer tersebut memiliki penguasa ghaib antara
lain Sunan Lawu di Gunung Lawu, Betari Kalayuwati di Alas Krendawahana, Eyang
Gadung Melati di Gunung Merapi dan Ratu Kencanasari di Laut Selatan.
Empat pancer tersebut oleh Keraton Kasunanan Surakarta di
jaga dan di lestarikan dengan cara memberikan sedekah sesaji setiap waktu
tertentu, sebagai upaya menjaga harmonisasi keseimbangan alam demi terwujudnya
tatanan kehidupan yang saling menjaga atau memayu hayuning bawana.
Sementara itu dari sumber literasi serat kuna di ceritakan, alas
krendawahana adalah kahyanganya Betari Durga, sedangkan yang berkuasa menjadi ratu
adalah Betari Kalayuwati, putri Betari Durga.
Wilujengan Mahesa Lawung di alas krendawahana di lakukan
dengan cara menanam kepala kerbau sebagai sarana atau tumbal keselamatan negari,
agar di jauhkan dari wabah pegebluk dan penyakit.
Selain kepala kerbau sebagai tumbal utama, juga terdapat
berbagai macam sesaji yang khusus di peruntukan hanya pada saat wilujengan
mahesa lawung di gelar.
(tok)