-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Mantera Jamasan Pusaka Kidung Aji Warangka

10/19/2025 | 10/19/2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-19T14:38:32Z
Keris Pusaka / Foto : Metrosurakarta


BUDAYA-Dalam tradisi masyarakat Jawa, Keris pusaka atau Tosan aji tidak hanya berfungsi sebagai pegangan berkaitan dengan makna spiritual tentang nilai nilai keillahian, namun juga sebagai symbol kewibawaan, kekuasaan dan kemulyaan bagi para pemiliknya.


Oleh karena itu dalam merawat pusaka tidak cukup hanya di beri sandangan, tetapi juga perlu di jamas setiap waktu tertentu. Baik untuk keris yang dibuat pada masa sekarang maupun pusaka pusaka peninggalan pada masa lalu.


Untuk melakukan sebuah ritual jamasan pusaka tidak semua orang bisa melakukanya. Sebab prosesi tersebut harus di lakukan oleh seseorang yang ahli, baik oleh para empu maupun pecinta Tosan aji.


Jamasan dapat dimaknai dengan mensucikan, oleh karena itu dalam prosesi jamasan seorang empu tidak harus mengolesi warangan pada bilah tosan aji agar logam besi awet tidak mudah korosi, tetapi  juga bisa di lakukan hanya dengan membasuh air bunga yang sudah di manterai.


Jamasan dengan cara membasuh tersebut dapat dilakukan apabila besi Tosan aji masih dalam kondisi baik terlapisi warangan dan tidak teyeng. Sedangkan apabila besi terkena kerak teyeng, maka prosesnya lebih dulu harus di bersihkan. Selanjutnya setelah bersih masuk ke tahap tahap selanjutnya. 

 

Jamasan adalah sebuah ritual sacral yang tidak semua orang bisa melakukanya. Apalagi jamasan yang di lakukan oleh para empu pada masa lalu. Kekuatan bathin menjadi hal paling pokok sebelum mereka melakukan proses jamasan.


Doa atau mantera dalam ritual jamasan lebih kepada mantera mantera yang berbau ajaran buda, keyakinan yang di anut para leluhur pada masa lalu. Sebab dalam berbagai aspek spiritual jawa, Tosan aji sebagai simbol manunggaling kawula gusti.


Sementara itu salah satu mantera untuk ritual jamasan karya budayawan Ki Joko Budaya yang kerap di pakai untuk ritual jamasan adalah Kidung Aji Warangka.


Kidung aji warangka di tulis berdasarkan serat centhini saat Mas Cebolang  bersama para murid muridnyanya tiba di gunung taruwangsa di pinggir sebuah sumber mata air bernama Sendang Selakapa.


Mas Cebolang  lantas mengambil keris pusaka miliknya kemudian mencelupkan kedalam sendang di ikuti para murid muridnya. Usai di celupkan keris kedalam air sedang kapa, tosan aji tersebut tampak terlihat angker dan menyeramkan, perbawanya sangat luar biasa.


Di ilhami dari serat centhini tersebut maka di tulislah mantera kidung jamasan aji warangka yang di maknai sebagai wujud kecintaan anak cucu pada maha karya para leluhur Nusantara.


Selain berlatar belakang serat Centhini, Kidung Aji Warangka juga merupakan mantra doa yang di kemas dalam bentuk tembang macapat, sehingga secara tidak langsung memiliki nafas Islam Jawa.


Sebab di akuinya, jika selama ini banyak ritus dalam dunia perkerisan kerap  menggunakan mantra atau doa bernafaskan hindu buda. Oleh karena itu Kidung Aji Warangka di tulis bernafaskan Islam Jawa agar mudah di terima masyarakat secara luas tanpa mengurangi nilai nilai spiritualnya.


Kidung Aji Warangka juga sebuah pesan untuk para generasi muda agar selalu mengingat adi luhung budaya bangsa yang di sudah di akui UNESCO sebagai warisan budaya tak berbenda dari Nusantara.


Tembang Asmaradana , KIdung Aji Warangka Karya Ki Djoko Budaya:


‘Mulat wingit dung puniki, Ingaran aji warangka, Panggandring karya arane, Nata rasa jroning mawa, Tirta suci sela kapa, Winasuh warang sinulur, Winayuh ing jroning rasa’


‘Pusakane Tosan aji, Karya nyata nuswantara, Warangka klawan wilahe, Manunggal klawan pangeran, Jiimat pusakane jiwa, Ageman para leluhur, Pinayung bumi akasa’.


‘ Gusti Kang Murbeng Dumadi, Kawula tansah pepuja, Klawan rasa lan karsane, Rahayu slamet  laminya, Jiwa jawi Nusantara, Tansah  emut pra leluhur, Adi luhung karya nyata’. 


(Tok)

 

 


Pariwisata

Hukum

×
Berita Terbaru Update