BUDAYA-Dalam tradisi
masyarakat Jawa, Keris pusaka atau Tosan aji tidak hanya berfungsi sebagai
pegangan berkaitan dengan makna spiritual tentang nilai nilai keillahian, namun
juga sebagai symbol kewibawaan, kekuasaan dan kemulyaan bagi para pemiliknya.
Oleh karena itu dalam
merawat pusaka tidak cukup hanya di beri sandangan, tetapi juga perlu di jamas
setiap waktu tertentu. Baik untuk keris yang dibuat pada masa sekarang maupun pusaka
pusaka peninggalan pada masa lalu.
Untuk melakukan sebuah
ritual jamasan pusaka tidak semua orang bisa melakukanya. Sebab prosesi
tersebut harus di lakukan oleh seseorang yang ahli, baik oleh para empu maupun
pecinta Tosan aji.
Jamasan dapat dimaknai
dengan mensucikan, oleh karena itu dalam prosesi jamasan seorang empu tidak
harus mengolesi warangan pada bilah tosan aji agar logam besi awet tidak mudah
korosi, tetapi juga bisa di lakukan hanya
dengan membasuh air bunga yang sudah di manterai.
Jamasan dengan cara membasuh tersebut dapat dilakukan apabila besi Tosan aji masih dalam kondisi baik terlapisi warangan dan tidak teyeng. Sedangkan apabila besi terkena kerak teyeng, maka prosesnya lebih dulu harus di bersihkan. Selanjutnya setelah bersih masuk ke tahap tahap selanjutnya.
Jamasan adalah sebuah
ritual sacral yang tidak semua orang bisa melakukanya. Apalagi jamasan yang di
lakukan oleh para empu pada masa lalu. Kekuatan bathin menjadi hal paling pokok
sebelum mereka melakukan proses jamasan.
Doa atau mantera dalam
ritual jamasan lebih kepada mantera mantera yang berbau ajaran buda, keyakinan yang
di anut para leluhur pada masa lalu. Sebab dalam berbagai aspek spiritual jawa,
Tosan aji sebagai simbol manunggaling kawula gusti.
Sementara itu salah satu
mantera untuk ritual jamasan karya budayawan Ki Joko Budaya yang kerap di pakai
untuk ritual jamasan adalah Kidung Aji Warangka.
Kidung aji warangka di
tulis berdasarkan serat centhini saat Mas Cebolang bersama para murid muridnyanya tiba di gunung
taruwangsa di pinggir sebuah sumber mata air bernama Sendang Selakapa.
Mas Cebolang lantas mengambil keris pusaka miliknya kemudian
mencelupkan kedalam sendang di ikuti para murid muridnya. Usai di celupkan keris
kedalam air sedang kapa, tosan aji tersebut tampak terlihat angker dan menyeramkan,
perbawanya sangat luar biasa.
Di ilhami dari serat
centhini tersebut maka di tulislah mantera kidung jamasan aji warangka yang di
maknai sebagai wujud kecintaan anak cucu pada maha karya para leluhur Nusantara.
Selain berlatar belakang serat Centhini, Kidung Aji
Warangka juga merupakan mantra doa yang di kemas dalam bentuk tembang macapat,
sehingga secara tidak langsung memiliki nafas Islam Jawa.
Sebab di akuinya, jika selama ini banyak ritus dalam
dunia perkerisan kerap menggunakan
mantra atau doa bernafaskan hindu buda. Oleh karena itu Kidung Aji Warangka di
tulis bernafaskan Islam Jawa agar mudah di terima masyarakat secara luas tanpa
mengurangi nilai nilai spiritualnya.
Kidung Aji Warangka juga sebuah pesan untuk para generasi muda agar selalu mengingat adi luhung budaya bangsa yang di sudah di akui UNESCO sebagai warisan budaya tak berbenda dari Nusantara.
Tembang Asmaradana , KIdung
Aji Warangka Karya Ki Djoko Budaya:
‘Mulat wingit dung puniki, Ingaran aji warangka, Panggandring
karya arane, Nata rasa jroning mawa, Tirta suci sela kapa, Winasuh warang
sinulur, Winayuh ing jroning rasa’
‘Pusakane Tosan aji, Karya nyata nuswantara, Warangka
klawan wilahe, Manunggal klawan pangeran, Jiimat pusakane jiwa, Ageman para
leluhur, Pinayung bumi akasa’.
‘ Gusti Kang Murbeng Dumadi, Kawula tansah pepuja, Klawan
rasa lan karsane, Rahayu slamet laminya,
Jiwa jawi Nusantara, Tansah emut pra
leluhur, Adi luhung karya nyata’.
(Tok)